Selasa, 24 April 2012

Sejarah dan Budaya Banyumas


Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum`at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.
Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.
Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap.

Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.

Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.

Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.
Siapakah Raden Joko Kahiman itu ?
R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu.
Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya.

Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA.
Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah "BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA" artinya tahun 1582.
Bila diartikan dengan kalimat adalah "KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN".


 

SENI DAN BUDAYA 



A. AKSIMUDHA

Aksimudha adalah kesenian bernafas islami yang tersaji dalam bentuk atraksi pencak silat yang dipadu dengan tari-tarian dengan iringan terbang/ genjring. Pertunjukkan aksimudha dilakukan oleh delapan penari pria. Aksimudha pernah berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas dan saat ini masih dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Wangon.

B. ANGGUK

Angguk adalah kesenian bernafas islami yang tersaji dalam bentuk tari-tarian dengan iringan terbang/genjring. Pertunjukkan angguk dilakukan oleh delapan orang pria.

C. APLANG atau DHAENG

Aplang atau dhaeng adalah kesenian bernafas islami serupa dengan angguk, pemainnya terdiri atas delapan penari wanita. Aplang masih berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas khususnya di wilayah Kecamatan Somagede.

D. BARITAN

Baritan adalah upacara kesuburan dengan menggunakan kesenian sebagai media utamanya. Hingga saat ini ada dua macam baritan yaitu baritan yang digunakan untuk tujuan memanggil hujan dan baritan untuk keselamatan ternak. Untuk memangil hujan biasanya digunakan berbagai macam kesenian yang ada seperti Iengger, buncis, atau ebeg. Adapun baritan untuk keselamatan ternak biasanya menggunakan Iengger sebagai media upacara. Baritan biasanya dilaksanakan pada mangsa Kapat (sekitar bulan September). Baritan untuk memanggil hujan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas, sedangkan baritan masih berkembang di wilayah Kecamatan Ajibarang.

E. BEGALAN

Begalan adalah seni tutur tradisional yang digunakan sebagai sarana upacara pernikahan. Begalan menggambarkan peristiwa perampokan terhadap barang bawaan dari besan (pihak mempelai pria) oleh seorang begal (perampok). Dalam falsafah orang Banyumas, yang dibegal (dirampok) bukanlah harta benda, melainkan bajang sawane kaki penganten nini penganten (segala macam kendala yang mungkin terjadi dalam kehidupan berumah tangga pada mempelai berdua).
Begalan dilakukan oleh dua orang pria dewasa yang merupakan sedulur pancer lanang (saudara garis laki-laki) dari pihak mempelai pria. Kedua pemain begalan menari di depan kedua mempelai dengan membawa properti yang disebut brenong kepang. Properti tersebut terdiri atas alat-alat dapur yang diberi makna simbolis yang berisi falsafah Jawa dan berguna bagi kedua mempelai yang akan menempuh hidup baru mengarungi kehidupan berumah tangga. Dalam pementasannya, kedua pemain begalan menari dengan diiringi gendhing-gendhing Banyumasan yang disajikan dengan menggunakan perangkat gamelan. Hingga saat ini begalan masih tumbuh subur di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.


F. BONGKEL
Bongkel adalah musik tradisional mirip angklung, hanya terdiri atas satu buah instrumen dengan empat buah bilah berlaras slendro dengan nada 2 (ro), 3 (1u), 5 (ma) dan 6 (nem). Dalam penyajiannya, bongkel memiliki gendhing-gendhing khusus. Bongkel hanyatumbuh dan berkembang di Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati.
G. BUNCIS

Buncis adalah perpaduan antara musik dan tail yang dibawakan oleh delapan penari pria. Dalam pertunjukkannya, pemain buncis menari sambil bermain musik dan vokal dengan membawa alat musik angklung. Buncis merupakan kesenian khas desa Tanggeran, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas.

H. CALUNG

Calung adalah musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan terbuat dari bambu wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata "calung" merupakan jarwo dhosok (dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuaranyaring).

Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal), namun mampu menghasilkan aransemen musikal yang lengkap. Perangkat musik calung teridiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada-nada I (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem).

Dalam penyajiannya, calung menyajikan gendhing-gendhing gaya Banyumas, Surakarta, Yogyakarta, Sunda, dan lagu-lagu pop yang diaransir ulang. Calung tumbuh subur di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.

I. COWONGAN

Cowongan adalah upacara minta hujan dengan menggunakan properti berupa siwur atau irus yang dihias menyerupai seorang putri. Pelaku cowongan terdiri atas wanita yang tengah dalam keadaan suci (tidak sedang haid, nifas, atau habis melakukan hubungan seksual). Dengan menyanyikan tembang-tembang tertentu yang sesungguhnya merupakan doa-doa itu. Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir masa kapat (hitungan masa dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam jumat dimulai pada malam jumat kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya I kali, 3 kali, 5 kali atau 7 kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan 3 kali. Jika dilaksanakan 3 kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak 5 kali demikian seterusnya hingga turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat dijumpai di desa Plana, Kecamatan Somagede.

J. EBEG

Di Banyumas kesenian kuda lumping lebih dikenal dengan sebutan "Ebeg". Tarian ebeg ini menggunakan kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu yang diiringi dengan alat musik gamelan dan dipimpin oleh seorang "Penimbul" atau dalang ebeg. Pada puncak aktifitasnya para penari akan kesurupan sambil makan bunga, pecahan kaca, dan biji padi sambil dicambuk oleh sang Penimbul. Dan para penari akan sadar kembali setelah dibacakan mantra oleh Penimbul atau dalang ebeg tadi.

K. GUMBENG

Gumbeng adalah permainan rakyat yang terdiri atas potongan ruas bambu yang dilaras dengan nada-nada tertentu, diletakkan di atas kaki yang sengaja di julurkan ke depan dalam posisi duduk. Gumbeng masih berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.


L. JEMBLUNG


Jemblung adalah seni tutur tradisional yang dilakukan oleh empat orang pemain. Menurut masyakat setempat, kata jemblung merupakan jarwo dhosok (penggabungan dua kata menjadi kata bentukan baru) yang berarti jenjem-jenjeme wong gemblung (rasa tentrem yang dirasakan oleh orang gila). Pengertian ini diperkirakan bersumber dari tradisi pementasan jemblung yang menempatkan pemain seperti layaknya orang gila.
Para pemain jemblung tampak tampil dalam pementasannya tanpa properti artistik apapun, bermain seperti halnya sandiwara Kethoprak dan mengiringi pertunjukkan dengan aransemen musikal yang dibangun melalui sajian musik mulut (oral). Adapula yang berpendapat bahwa pada jemblung berasal dari kata jemblung umar madi, yaitu seorang tokoh dalam cerita umar amir (bersumber dari serat ambiya atau riwayat para nabi) yang memiliki ciri berperut buncit aw : Njemblung). Ini berkaitan dengan salah satu cerita yang disajikan dalam pertunjukan jemblung bersumber dari serat ambiya. Dalam pertunjukannya pemain jemblung duduk di kursi menghadap sebuah meja yang berisi nasi tumpeng dan jajan pasar yang menjadi properti pementasan. Pertunjukan jemblung menyajikan kisah-kisah babad, legenda atau cerita rakyat yang adegannya diplot seperti halnya plot cerita pada pertunjukan kethoprak. Jemblung masih tumbuh dan berkembang di kecamatan Tambakdan Sumpiuh.


M. KARAWITAN GAGRAG BANYUMAS


Karawitan gagrag Banyumas salah satu gaya dalam karawitan Jawa yang tumbuh dan berkembang di wilayah sebaran budaya Banyumas.
Karawitan gagrag Banyumas dikenal memiliki 3 warna yaitu warna wetanan, kulonan dan Banyumasan. Warna wetanan dalam karawitan gagrag Banyumas dipengaruhi oleh karawitan kraton (gaya Surakarta dan Yogyakarta). Warna kulonan dipengaruhi oleh karawitan gaya Sunda. Adapun warna Banyumasan adalah warna khas yang dilatar belakangi oleh budaya masyarakat setempat yang bernafas kerakyatan. Ketiga warna tersebut dapat dijumpai pada bentuk gendhing, garap gendhing dan garap instrumen dalam setiap penyajiannya. Karawitan gagrag Banyumasan disajikan dalam perangkat gamelan ageng. Namun demikian dapat pula disajikan dengan menggunakan perangkat musik calung maupun angklung yang merupakan perangkat musik khas Banyumasan. Hingga saat ini karawitan gagrag Banyumasan masih tumbuh subur di seluruh wilayah kabupaten Banyumas.


N. LENGGER
Lengger adalah seni pertunjukan tradisional khas Banyumas yang dilakukan oleh penari wanita. Dalam pertunjukannya penari lengger menari sambil menari (nyinden) dengan diiringi oleh gamelan calung. Kata lengger merupakan jarwo dhosok (penggabungan dua kata menjadi kata bentukan baru) yang berarti diarani leng jebule jengger atau dikira lubang ternyata mahkota ayam jantan. Maksud jarwo dhosok tersebut adalah berkaitan dengan kaftan dengan kebiasaan pada masa lalu pemain lengger berjenis kelamin laki-laki yang berdandan perempuan. Leng adalah simbol gender perempuan,
sedangkan jengger adalah simbol gender laki-laki. Dalam perkembangannya, kesenian lengger lebih sebagai media hiburan sehingga penari yang semula laki-laki diganti dengan penari perempuan yang berparas cantik. Pada masyarakat tradisional di daerah Banyumas, lengger memiliki fungsi ritual sebagai pelaksanaan upacara kesuburan. Lengger dipentaskan untuk keperluan baritan (upacara minta hujan ), sedekah bumi (upacara syukuran setelah panen padi), !caul atau nadar dan lain-lain. Saat sekarang lengger banyak dipentaskan untuk keperluan hiburan masyarakat pedesaan maupun perkotaan dan telah dimodifikasi menjadi tarian-tarian yang digarap dengan konsep masa kini. Lengger hidup subur di seluruh wilayah sebaran budaya Banyumas.



O. SLAWATAN JAWA


Adalah musik bernafas islami dengan perangkat berupa terbang Jawa. Semua pemain slawatan Jawa adalah laki-laki dewasa. Slawatan Jawa masih berkembang di kecamatan Baturraden dan Purwokerto


P. KASTER
Kaster adalah musik tradisional dengan alat musik berupa siter, gong bumbung dan kendhang kotak sabun (terbuat dart kotak kayu sebagai resonator dengan sumber bunyi berupa tali !caret yang diikatkan di kedua sisi kotak). Dalam pertunjukannya disajikan gendhing-gendhing gaya Surakarta Yogyakarta dan gaya Banyumas. Kaster masih berkembang di kecamatan Purwojati.
Q. UJUNGAN

Ritual tradisional minta hujan dengan cara adu manusia. Ujungan merupakan adu manusia dengan properti berupa sebatang rotan. Pelaku ujungan adalah laki-laki dewasa yang memiliki kekuatan untuk menahan benturan pukulan lawan. Sebelum beradu pukul, pemain ujungan menari-nari dengan iringan tepuk dan sorak-sorai penonton. Ritual ini hanya dilaksanakan pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ujungan dilaksanakan pada akhir mangsa kapat (pranata mangsa Jawa) atau sekitar bulan September. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, ujungan dilakukan dalam hitungan ganjil, misalnya I kali, 3 kali, 5 kali atau 7 kali.

Apabila sekali dilaksanakan ujungan belum turun hujan, maka dilaksanakan 3 kali. Jika dilaksanakan 3 kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak 5 kali. Demikian seterusnya hingga turun hujan. Hinggasaat ini ujungan masih berkembang di kecamatan Somagede.
R. WAYANG KULIT GAGRAG BANYUMASAN

Wayang kulit gagrag Banyumasan adalah jenis pertunjukkan wayang kulit yang bernafas Banyumas. Lakon-lakon yang disajikan dalam pementasan tidak berbeda dengan wayang kulit purwo, yaitu bersumber dari kitab mahabarata dan Ramayana. Spesifikasi wayang kulit gagrag Banyumasan adalah terletak pada tehnik pembawaannya yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat setempat yang memiliki pola kehidupan pola tradisional agraris. Spesifikasi tersebut dapat dilihat pada berbagai sisi seperti sulukan, tokoh-tokoh tertentu yang merupakan lokal genius lokal Banyumasan, sanggit cerita, iringan dan lain-lain. Wayang kulit gagrag Banyumasan memiliki dua versi yang berbeda, yaitu gagrag kidul gunung dan gaggrag lor gunung. Wayang kulit gagrag lor gunung adalah wayang kulit gagrag Banyumasan yang berkembang di sebelah selatan pegunungan kendeng. Adapun gagrag lorgunung adalah wayang kulit gagrag Banyumasan yang berkembang di sebelah Utara pegunungan kendeng. Wayang kulit gagrag Banyumasan masih tumbuh subur di seluruh wilayah kabupaten Banyumas




Sumber : google.com
               http://www.banyumaskab.go.id
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar